Letak Indonesia yang diantara dua benua yakni Asia dan Australia, sangat
strategis sebagai jalur perdagangan. Dari adanya jalur perdagangan yang melalui
Indonesia menyebabkan berbagai budaya ikut serta masuk ke Indonesia. Pada bab
ini akan menguraikan tentang perkembangan negara tradisional meliputi masuknya
agama Hindu, Budha dan Islam serta pengaruh-pengaruhnya. Serta dalam buku ini
akan dibahas mengenai perkembangan Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu, Budha
dan Islam mulai abad 5 sampai abad ke- 16.
Kerajaan-kerajaan
yang bercorak Hindu – Budha meliputi Kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sunda atau
Pajajaran, Holing atau Kalingga, Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singhasari,
dan Majapahit. Sedangkan kerajaan yang bercorak Islam meliputi Kerajaan Samudra
Pasai, Malaka dan Demak. Garis besar yang akan dipelajari dapat dilihat pada
peta konsep di halaman pertama.
Letak Geografis Indonesia sebagai Jalur Perdagangan
Kepulauan Indonesia terletak di garis khatulistiwa, tepatnya antara 5° 54’
Lintang Utara dan 11° Lintang Selatan dan serta 95° 01’ Bujur Timur dan 141°
02’ Bujur Timur. Oleh karena itu Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim
kemarau dan musim hujan. Ciri-ciri iklimnya ialah berhawa tropis dengan curah
hujan yang tinggi. Dalam mata pencaharian baik bertani maupun dalam perdagangan
Internasional dua musim ini sangat mempengaruhi. Angin musim barat dan angin
musim timur di Indonesia sangat menentukan jalur pelayaran dan perdagangan.
Selain itu menentukan pula munculnya kota-kota pelabuhan serta pusat-pusat
kerajaan sejak zaman Sriwijaya sampai akhir zaman Majapahit. Hasil-hasil bumi
Indonesia menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan di kota-kota pelabuhan
itu. Daerah Maluku sebagai penghasil rempah-rempah menjadi terminal jalur
perdagangan yang penting. Demikian pula dengan Palembang (Sriwijaya), Tuban,
Banten, dan kota-kota pelabuhan lainnya menjadi banyak dikunjungi para pedagang
asing. Para pedagang dari Cina, India, Persia, dan negara-negara Eropa lainnya
banyak yang berdagang di Indonesia. Kegiatan ini telah berlangsung berabad-abad
lamanya.
Dengan demikian, Indonesia merupakan mata rantai perdagangan dunia. Selain itu,
letak Indonesia yang berada di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua
Australia, oleh sebab itu Indonesia sering diumpamakan sebagai sebuah jembatan
di antara kedua benua tersebut. Posisi strategis Indonesia seperti ini tentu
saja membawa pengaruh terhadap sosial, budaya, politik, dan pertahanan
keamanan. Pengaruh dari agama dan budaya asing, seperti dari India, Arab, dan
Cina serta dari negara-negara lain masuk ke Indonesia. Masuknya agama dan
budaya asing ini telah memperkaya khasanah kebudayaan bangsa Indonesia.
Corak agama dan keanekaragaman budaya bangsa Indonesia sekarang merupakan
perpaduan dari agama dan budaya asing dengan agama dan budaya bangsa Indonesia
asli. Indonesia juga terletak dalam jalur perdagangan antara dua pusat perdagangan
jaman kuna, yaitu India dan Cina. Pada zaman ini, jalur perniagaan Asia melalui
darat dimulai dari Cina melaluui Asia Tengah, Turkesan, sampai Laut Tengah.
Jalur ini terkenal dengan sebutan Jalur Sutera (silk road). Jalur perdagangan
ini merupakan jalur paling tua yang menghubungkan Cina dengan Eropa. Jalur
perdagangan melalui laut dimulai dari Cina dengan melalui Laut Cina, Selat
Malaka, Kalikut (India), lalu ke Teluk Persia, melalui Syam (Suriah) sampai ke
Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir, lalu menuju ke Laut
Tengah.
Proses Tumbuh dan Berkembangnya Agama Hindu, Budha dan Islam di Indonesia
1)
Penyebaran Agama Hindu
Agama Hindu
adalah agama yang merupakan agama pertama yang dikenal oleh manusia. Kebudayaan
yang dilahirkan oleh agama ini sangat kompleks baik dibidang astronomi, ilmu
pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Perkembangan agama Hindu di India,
hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman
Upanisad dan Jaman Budha.
Terdapat beberapa teori mengenai masuknya Agama Hindu ke Indonesia antara lain:
- Menurut Krom (seorang ahli Belanda), menyampaikan teori Waisya. Dalam bukunya “Hindu Javanesche Geschiedenis”, menyebutkan bahwa masuknya Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
- Menurut Mookerjee (ahli-India 1912) menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar.
- Moens dan Bosch (ahli-Belanda) menyatakan bahwa peranan kaum Ksatria sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia.
- J.C.Vanleur berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana karena hanyalah kaum Brahmana yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga karena undangan Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu ke Indonesia.
Masuknya Agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat
diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke
4 Masehi, seperti diketemukannya 7 buah Yupa peninggalan Kerajaan Kutai di
Kalimantan Timur. Masuknya Agama Hindu menimbulkan pembaharuan yang besar,
mmisalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke
dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda
dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah.
2) Penyebaran Agama Budha
Agama Budha pertama kali tumbuh di India. Berbeda dengan Hindu, Agama Budha
tidak memiliki sistem kasta. Agama Budha merupakan salah satu agama yang sejak
lama sudah dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada masa Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit merupakan jaman keemasan bagi Budhisme. Para pendeta
agama Budha memiliki mobilitas tinggi, mereka sering melakukan perjalanan jauh.
Menurut para ahli sejarah penyebaran agama Budha di Indonesia terjadi lebih
awal dibandingkan agama Hindu. Agama Budha diperkirakan masuk ke Indonesia pada
bad ke- 2 M.
3) Penyebaran Agama Islam
Terdapat beberapa pendapat mengenai masuknya Islam ke Indonesia antara lain,
pendapat yang menyatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke- 7 M dan
pendapat yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke- 13 M.
Pendapat pertama yakni Islam masuk ke Indonesia pada abad ke- 7 M, pandangan
ini didasari oleh teorinya Berita Cina yang menceritakan adanya orang-orang
Ta-shih (orang-orang Arab) di Indonesia. Pendapat kedua abad ke- 13, dasar
teori ini ialah dugaan dari akibat keruntuhan Dinasti Abbasiah di Irak yang
diserang pasukan Mongol pimpinan Hulagu pada tahun 1258. Pendapat ini diperkuat
oleh berita Marco Polo pada tahun 1292 M, Ibnu Battuta pada abad ke- 14 M,
serta nisan kubur Sultan Malik al-Shaleh yang bertanggal 1297 M. Oleh karena
itu, abad ke- 7 M dipandang sebagai permulaan masuknya Islam sedangkan abad ke-
13 M para Muslim melakukan proses Islamisasi secara meluas. Kerajaan Hindu-
Budha pada saat itu bersikat toleran terhadap masuknya Islam.
a) Golongan Pembawa Agama Islam
Kedatangan Islam ke Indonesia umumnya melalui jalur perdagangan, kebanyakan
golongan pembawa adalah para pedagang. Penyebaran Islam dilakukan oleh para
ulama atau juru dakwah, yang diantaranya pernah pergi ke Makkah atau pusat
agama lainnya di Timur Tengah. Wali Sanga merupakan penyebar Islam yang
terkemuka, terdiri dari sembilan orang. Anggota Wali Sanga antara lain ialah
Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan
Drajat, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunana Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.
Proses Islamisasi yang dilakukan para wali ini terbilang sangat unik, mereka
memiliki ciri tersendiri tidak terdapat unsur sinkretisme. Contoh sinkretisme
mengiri m sesajen ke kubur sebagai bentuk belasungkawa. Dalam hal ini, Sunan
Kalijaga memodifikasi upacara tersebut yakni niatnya tidak lagi mengirim
sesajen melainkan bersedekah.
b) Golongan Penerima Agama Islam
Di Indonesia terdapat dua golongan penerima agama Islam, yaitu golongan elit
dan golongan masyarakat rendahan.
1) Golongan
elit terdiri atas para raja, bangsawan, dan penguasa.
2) Golongan
masyarakat rendahan terdiri atas para pedagang.
c) Saluran Islamisasi
Saluran islamisasi meliputi:
- Perdagangan Abad ke-7 hingga ke- 16 lalu lintas perdagangan mengalami kesibukan, sehingga mempermudah pedagang islam dalam menyebarkan agama islam. Para pedagang tersebut, bersal dari Arab, Persia dan India yang memeluk agama Islam.
- Perkawinan Status sosial para pedagang kaya yang tinggi membuat banyak pribumi yang tertarik untuk menjadi istri. Oleh karena itu, banyak warga pribumi yang masuk Islam karena menikah dengan pedagang Muslim.
- Tasawuf Tasawuf merupakan ajaran atau car mendekatkan diri kepada Tuhan. Bentuk Islamisasi di Indonesia diketahui dari cerita-cerita dalam babad dan hikayat, misalnya Sejarah Banten dll.
- Pendidikan Pesantren merupakan lembaga penting dalam penyebaran agama Islam. Pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, terdapat Sunan Ampel yang mendirikan pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Pesantren Sunan Giri juga terkenal sampai daerah Maluku.
- Kesenian Islamisasi juga dilakukan dalam bidang kesenian, seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni tari, seni musik, dan seni satra. Pertunjukan wayang adalah alat islamisasi yang terkenal, menurut cerita Sunan Kalijaga menggunakan media wayang sebagai alat untuk islamisasi.
Dalam hal kesusteraan, Islamisasi dilakukan dalam naskah-naskah lama masa
peralihan kepercayaan yang ditulis dalam bahasa dan huruf daerah. Perkembangan
Budaya Agama Hindu, Budha dan Islam di Masyarakat
1) Konsep Mikrosmos, Makrosmos, dan Konsep Dewa- Raja dalam Agama Hindu dan Budha
Salah satu penetrasi kebudayaan India ialah konsep tentang kekuasaan raja
berupa kesejajaran atau keserasian antara mikrosmos (jagad dunia/ jagad kesil)
dan makrosmos (jagad para dewa/ jagad besar). Dalam Hindu maupun Budhisme
menggangap gunung Meru merupakan pusat dari jagad raya, suatu hal yang tidak
mengherankan mengingat akar Hindu-nya. Berdasarkan konsep mikro dan makrosmos
itu, raja adalah wakil dewa yang mempunyai tugas untuk menjaga kehidupan yang
harmonis di jagad kecil agar huubungannya dengan jagad besar juga selalu
harmonis. Dalam agama Hindu, raja dianggap sebagai titisan dewa (kebanyakan
adalah Syiwa) atau sebagai keturunan dewa.
2) Struktur Kerajaan dan Birokrasi
Struktur kerajaan di Asia Tenggara, dan kepulauan Indonesia tersusun mengikuti
pola kosmis, yaitu berbentuk lingkaran-lingkaran dengan mandala –mandala
kecilnya. Di Jawa, misalnya lingkaran paling dalam yang menjadi pusat
pemerintahan dan kekuasaan disebut dengan kutanegara. Lingkaran kedua yang
mengitari wilayah kutanegara disebut negara agung. Wilayah yang paling jauh
dari pengaruh pusat kerajaan disebut mancanegara. Konsep kosmis seperti ini
pada dasarnya tidak mengenal batas negara yang jelas. Batas kerajaan dapat
bergeser meluas atau menyempittergantung kharisma atau kekuasaan raja yang
berkuasa saat itu. Tanda utama dari masyarakat yang telah mengenal kehidupan
bernegara ialah struktur masyarakatnya yang bertingkat.
Dalam struktur pemerintahan Mataran Kuno, tingkat paling bawah dikenal dengan
sebutan wanua. Intervensi pemerintah sangat kecil dan proses pengambilan
keputusan dilakukan secara demokratis. Menurut sumber prasasti, di atas wanua
terdapat tingkat administrasi yang lebih tinggi yang disebut watak. Di tingkat
pusat, administrasi pemerintahan dikelola oleh sejumlah pejabat kerajaan yang
ditata secara berjenjang. Jabatan paling puncak dipegang oleh seorang pemimpin
tertinggi kerajaan yang biasanya menggunakan gelar haji, ratu, atau maharaja.
Di bawahnya terdapat para pejabat tinggi yang memiliki gelar rakai atau pamegat,
yang menjalankan fungsi sebagai menteri dalam sistem pemerintah sekarang.
Dibawah rakai dan pamegat terdapat sejumlah pejabat yang menjalankan fungsi
sipil ataupun keagamaan. Tingkat paling rendah yaitu terdapat sejumlah pegawai
rendahan yang menjalankan fungsi mengumpulkan pendapat kerajaan dengan cara
memungut pajaat di wanua- wanua. Untuk mengukur kesetian para pemimpin atau
raja tetangganya, raja dapat melihatnya dalam upacara- upacara yang secara
berkala diadakan olehnya. Umumnya pemimpin wilayah yang hadir dalam upacara
membawa upeti.
3) Perkembangan Seni Arsitektur
Seni arsitektur yang digunakan dalam agama Hindu-Budha mengambil konsep India,
sedangkan arsitektur Islam juga terdapat yang menggunakan arsitektur India.
Dalam agama Hindu- Budha, candi merupakan tempat sementara bagi dewa juga
merupakan bangunan tiruan dari tempat dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung
Mahameeru. Candi di Indonesia terdapat tiga jenis, yaitu jenis Jawa Tengah
utara, jenis Jawa Tengah Selatan dan jenis Jawa Timur.
Perbedaan antara candi Jawa Tengah dan Jawa Timur antara lain:
- Langgam Jawa Tengah umunya memiliki bangunana yang bentuknya tambun, atapnya berundak-undak, puncaknya berbentuk ratna atau stupa, reliefnya timbul agak tinggi, dan lukisannya naturalis. Letak candi di tengah halaman, kebanyakan menghadap ke Timur, dan terbuat dari batu andesit. Contoh dari bangunan langgam ini ialah Candi Dieng, Candi Kalasan, dan Candi Borobudur.
- Langgam Jawa Timur umunya memiliki bentuk bangunan ramping, atapnya perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus, reliefnya timbul sedikit saja, lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman, kebanyakan menghaadap ke barat, dan terbuat dari bata. Contoh dari Langgam ini adalah Candi jago, Candi Singhasari, dan Candi Muara Takus di Sumatera.
Dari arsitektur masjid-masjid di Indonesia terdapat berbagai hal yang menarik
perhatian dan menjadi corak yang khusus antara lain:
- Atapnya yaitu berupa atap tumpang (atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil sedangkan tingkat yang paling atas berbentuk limas). Atap tumpang ini merupakan bentuk perkembangan dari dua unsur yang berlainan, yaitu atap candi yang bersusun dan pucuk stupa.
- Adanya menara, di Indonesia hanya masjid Banten dan masjid Kudus yang memiliki menara. Bentuk menara pada masjid Kudus menyerupai candi yang atasnya diberi atap tumpang, sedangkan menara Banten adalah tambahan yang diusahakan oleh seorang pelarian Belanda, Cardeel.
- Letak masjid, biasanya masjid didirikan berdekatan dengan istana raja.
Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan bercorak Hindu, Budha
1. Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua yang bercorak Hindu yang terletak di
Kalimantan Timur. Bukti keberadaan Kutai didasarkan pada penemuan 7 buah
prasati yang dipahatkan pada tiang batu. Tiang batu itu disebut dengan yupa,
yaitu nama yang disebutkan dalam prasasti-prasasti tersebut. Yupa ini berbentuk
seperti tugu peringatan pada upacara kurban. Prasasti ini bertuliskan huruf
Pallawa, dilihat dari bentuk tulisan yang dipahatkan pada yupa ini berasal dari
sekitar abad 400 Masehi. Sedangkan bahasa yang digunakan dalam prasasti ini
adalah bahasa Sansekerta. Dari salah satu prasasti yupa, diketahui raja yang
memerintah kerajaan ini adalah Mulawarman. Menurut silsilah yang terdapat dalam
prasasti disebutkan bahwa Mulawarman anak dari Aswawarman dan cucu dari
Kudungga.
Dalam prasasti disebutkan bahwa Aswawarman disebut senbagai dewa Ansuman/Dewa
Matahari dan merupakan pendiri keluarga kerajaan (Vansakarta) bukan Kudungga
yang dianggap raja pertama. Dapat dipasatikan Aswawarman merupakan pemeluk
agama Hindu. Sedangkan nama Kudunga bukan nama India melainkan nama orang
Indonesia. Pada masa itu, pengertian keluarga raja hanya digunakan untuk
keluarga kerajaan yang menyerap kebudayaan India. Pada masa pemerintahan
Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya
meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Disebutkan bahwa rakyat Kutai
hidup sejahtera dan Makmur. Maksud dari penulisan prasasti Yupa adalah untuk
memperingati kebaikan hati raja Mulawarman yang telah menyelenggarakan upacara
selamatan (kenduri) yang disertai pemberian berbagai sedekah kepada brahmana
dan rakyat. Karena kurangnya komunikasi menyebabkan Kerajaan ini tidak begitu
dikenal orang asing.
2. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara terletak di Jawa Barat berdiri sekitar tahun 400 – 500
Masehi, dengan rajanya bernama Purnawarman. Bukti mengenai keberadaan kerajaan
ini dengan ditemukannya tujuh buah prasasti yaitu Prasasti Ciaruton, Kebon
Kopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Munjul. Seperti dengan prasasti
yupa, prasasti yang ditemukan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta
dalam penulisannya. Prasasti Pasir Awi dalam prasasti ini dijumpai nama negara,
yang menurut bacaannya berbunyi Tarumayam.
Pada prasasti Ciaruton terdapat lukisan tapak kaki yang dipahatkan di atas
tulisan. Dalam prasasti ini dijelaskan bahwa tapak kaki ini merupakan kaki
Purnawarman yang seperti wisnu. Pada prasasti Kebon Kopi terdapat lukisan dua
tapak kaki gajah yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata. Sedangkan
pada prasasti Tugu disebutkan dua sungai yang terkenal di Panjab, yaitu Sungai
Candrabhaga dan Gomati. Prasasti ini merupakan prasasti satu-satunya prasasti
Purnawarman yang menyebutkan penanggalan. Setelah penggalian Sungai
Candrabhaga, penggalian Sungai Gomati dilakukan selama 21 hari dengan
panjangnya 6.122 tumbak. Dilakukan selamatan setelah penggalian sungai Goamati,
yang disertai dengan hadiah 1.000 ekor sapi. Berdasarkan prasasti ini dapat
diketahui wilayah kekuasaan Purnawarman, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang
membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
Sumber sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan
Tarumanegara adalah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana
Cina yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah catatan
perjalanan pendeta Cina Fa-Hsein, pada tahun 414 dan catatan kerajaan Dinasti
Sui dan Dinasti Tan.
3. Kerajaan Sunda atau Pajajaran
Pakuan
Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan
Kerajaan Sunda, kerajaan yang berdiri pada abad ke 7 pernah berdiri di wilayah
barat pulau Jawa. Kemudian pindah di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Sumber
kesustraan yang menulis mengenai kerajaan ini adalah Carita Parahiyangan (akhir
abad XVI) yang menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Selain itu, terdapat
prasasti Canggal (732 M) yang menyebutkan nama sanjaya. Raja pertama Kerajaan
Pajajaran bernama Raja Sena. Namun, tahta Kerajaan Pajajaran kemudian direbut
oleh saudara Raja Sena yang bernama Purbasora. Raja Sena dan keluarganya
terpaksa meninggalkan keraton. Tidak lama kemudian, Raja Sena berhasil merebut
kembali tahta Kerajaan Pajajaran. Raja Pajajaran selanjutnya adalah
Jayabhupati. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Pajajaran mengembangkan ajaran
Hindu Waisnawa. Setelah Jayabhupati, Kerajaan diperintah oleh Rahyang Niskala
Wastu Kencana. Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan dipindahkan ke Kawali.
Dalam Carita Parahyangan dituliskan terjadinya perang Bubat, Sri Baduga
Maharaja bersama seluruh pengiringnya tewas. Kerajaan Pajajaran diambil alih
oleh Hyang Bunisora (1357-1371), pengasuh putra mahkota Wastu Kencana yang
masih kecil. Hyang Bunisora berkuasa selama 14 tahun.
Pada Prasasti Batu Tulis, raja ini disebut juga Prabu Guru Dewataprani.
Kerajaan Pajajaran selanjutnya diperintah secara berurutan oleh Wastu Kencana.
Tohaan, lalu Sang Ratu Jayadewata. Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata,
diperkirakan bahwa di Kerajaan Pajajaran telah terdapat penduduk yang beragama
islam. Pada masa pemerintahan Ratu Samiam pelabuhan Sunda Kelapa direbut oleh
Kerajaan Demak, Kerajaan Pajajaran harus menghadapi serangan Kerajaan Banten
dari arah barat. Pengganti Samiam, yaitu Prabu Ratu Dewata, berusaha
mempertahankan ibu kota Pajajaran dari pasukan Maulana Hasanuddin dan putranya,
Maulana Yusuf. Pada tahun 1579, Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh setelah
Kerajaan Banten yang bercorak Islam berhasil menguasai Ibu kota kerajaan.
Orang-orang Hindu Pajajaran yang tidak mau tunduk pada penguasa Islam akhirnya
melarikan diri kedaerah pedalaman dan kemudian hidup sebagai suku Badui.
4. Kerajaan Holing atau Kalingga
Keterangan mengenai kerajaan ini diperoleh dari berita Tionghoa pada massa
pemerintahan Raja-raja Tang (618-906). Raja yang terkenal adalah Ratu Sima. Ia
dikenal sebagai Ratu yang tegas, jujur, dan bijaksana. Berita lain yang berasal
dari seorang pendeta Buda, I-tsing menyatakan bahwa dalam tahun 664 datang
seorang pendeta bernama Hwi-ning di Holing, yang tinggal selama 3 tahun untuk
menerjemahkan berbagai kitab suci Budha Hinayana. Sumber lain mengenai Kerajaan
ini diperoleh dari prasasti Tuk Mas, prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa
dalam bahasa Sansekerta. Dilihat dari bentuk jenis hurufnya berasal dari
sekitar tahun 650 M. Berdasarkan prasasti ini diperkirakan Kerajaan Kaling
berada di sekitar Purwodadi dan Blora.
5. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya yang muncul pada abad ke-6, pada mulanya berpusat di sekitar
Sungai Batanghari, pantai timur Sumatra. Pada perkembangannya, wilayah kerajaan
Sriwijaya meluas hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya,
dan Sunda (kini wilayah Jawa Barat). Dalam berita Cina Kerajaan Sriwijaya
dikenal dengan nama che-lifo-che. Keterangan mengenai Kerajaan Sriwijaya
diperoleh dari berita seorang pendeta dari Cina bernama I-tsing, yang pada
tahun 671 berangkat dari Kanton ke India. Di tengah perjalanannya ia singgah di
Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sansekerta. Selain dari
I-Tsing, keterangan mengenai Sriwijaya juga diperoleh dari Prasasti-prasasti
antara lain : Prasasti kedukan bukit yang berisi tentang perjalanan suci Sang
Dapunta Hyang, Prasasti Kota Kapur yang berisi permintaan kepada para dewa
untuk menjaga kesatuan Sriwijaya, Prasasti Telaga Batu yang berisi kutukan
terhadap mereka yang berbuat kejahatan, prasasti Talang tuo dan prasasti Karang
Berahi. Tulisan dalam prasasti tersebut menggunakan huruf Palllawa dan bahasa
Mekayu Kuno.
Sriwijaya merupakan kerajaan yang bercorak Budha yang berada di Sumatra. Raja
yang pernah berkuasa adalah Sri Jayanaga, Balaputradewa (raja yang paling
terkenal), dan Sri Sanggramawijayatunggawarman. Kerajaan Sriwijaya mengalami
kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Pada masa itu, kegiatan
perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan penaklukan wilayah-wilayah
sekitar. Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan
hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur
perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai
pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut
cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya. Raja kerajaan
Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman.
Pada masa pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman pengaruh Sriwijaya
mulai mengalami kemunduran terhadap daerah bawahannya mulai menyusut
dikarenakan beberapa peperangan di antaranya serangan dari raja Dharmawangsa
Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari
Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan
Dharmasraya. Akibat serangan Raja Colamanda dari India dan Ekspedisi Pamalayu
dari Singosari Kerajaan Sriwijaya runtuh.
6. Kerajaan Bali
Sumber sejarah yang mengenai Kerajaan Bali ialah Prasasti Sanur (914 M) yang
dikeluarkan oleh Sri Kesariwarmadewa yang merupakan raja pertama di Bali dari
Dinasti Warmadewa, pusat Kerajaan Bali berada di Singhamandawa. Penggantinya
adalah Ugrasena, yang selama pemerintahannya membuat kebijakan pembebasan
beberapa desa dari pajak (915 M). Pada tahun 933 M, dibangun juga tempat-tempat
suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang menginap. Pengganti
Ugrasena adalah Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama permaisurinya.
Pada tahun 938 M Kerajaan Bali diperintah oleh seorang Ratu yang bergelar Sri
Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Pengganti ratu ini adalah Dharma Udayana
Warmadewa.
Pada masa pemerintahan Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram
Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pernikahan antara
Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal
sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang
menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Setelah Udayana wafat, Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja Kerajaan Bali.
Putra kedua Udayana ini menjadi raja Bali berikutnya karena putra mahkota
Airlangga menjadi raja Medang Kemulan.
Dari prasasti-prasasti yang ditemukan terlihat bahwa wilayah
kekuasaan Udayana meliputi daerah yang luas termasak Gianjar, Buleleng.
Tampaksiring dan Bwahan (Danau Batur). Ia juga mengusahakan pembangunan candi
di Gunung Kawi. Pengganti raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang
bernama Anak Wungsu. Anak Wungsu adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir
yang berkuasa di kerajaan Bali karena ia tidak mempunyai keturunan. Ia
meninggal pada tahun 1080 dan dimakamkan di Gunung Kawi (Tampak Siring).
Setelah anak Wungsu, kerajaan Bali dipimpin oleh Sri Sakalendukirana. Raja ini
digantikan Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka hingga 1041 Saka.
Raja Suradhipa kemudian digantikanJayasakti. Setelah Raja Jayasakti, yang
memerintah adalah Ragajaya selitar tahun 1155. Ia digantikan oleh Raja
Jayapangus (1177-1181). Raja terakhir Bali adalah Paduka Batara Sri Artasura
yang bergelar Ratna Bumi banten (Manikan Pulau Bali). Raja ini berusaha
mempertahahankan kemerdekaan Bali dari seranggan Majapahit yang di pimpin oleh
Gajah Mada. Sayangnya upaya ini mengalami kegagalan. Pada tahun 1265 Saka tau
1343, Bali dikuasai Majapahit. Pusat kekuasaan mula-mula di Samprang, kemudian
dipindah ke Gelgel dan Klungkung.
7. Kerajaan Mataram Kuno
Di wilayah Jawa Tenggah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah Kerajaan
Mataram Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi Mataram
yang terletak di pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki banyak
pegununggan dan sungai seperti Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan Bengawan
Solo. Sumber berita mengenai Kerajaan ini berasal dari prasasti yang ditemukan
di Gunung Wukir yakni prasasti Canggal. Prasasti yang ditulis menggunakan huruf
Pallawa dan bahasa Sansekerta ini menyebutkan pendirian lingga di atas sebuah
bukit di daerah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya memerintah sekitar abad 732 M.
Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab
Carita Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya
dianggap sebagai pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja dari Dinasti Sanjaya (yang menganut
agama Hindu ) dan raja-raja dari Dinasti Syailendra (yang menganut Agama
Budha). Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kedudukan Sanjaya sangat kuat dan berhasil
menyejahterakan rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh
Hindu di pulau Jawa. Setelah Raja Sanjaya meninggal, Mataram diperintah oleh
Rakai Panangkaran. Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti
Candi Sewu, Candi Plaosan dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut,
diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama Buddha.
Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak
dan Rakai Garung. Akibat penguasa yang lemah sehingga Kerajaan Mataram
berpindah penguasa yaitu Samaratungga, pada masa kekuasaan Raja Samaratungga
dibangun Candi Borobudur. Pengganti Samaratungga adalah menantunya yaitu Rakai
Pikatan (suami dari Pramodhawardani). Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua
dinasti tersebut melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari keluarga
Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga), dari keluarga
Syailendra. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856),
menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan
Balaputradewa. Pada masa Rakai Pikatan di bangun Candi Prambanan untuk pemujaan
bagi pemeluk agama Hindu.
Kerajaan Mataram mencapai Puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Raja Balitung.
Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti
Balitung. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah
prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan
Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Raja Balitung berhasil menyatukan
kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan. D Sri Maharaja Daksa,
yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama
memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga
mengalami nasib serupa. Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan
Mataram Kuno dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota.
Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak
kedudukan Mataram di Jawa.
Pada tahun 929 M, pusat kerajaan Mataram dipindahkan ke Watugaluh (JawaTimur)
oleh Empu Sindok. Hal ini dilakukan untuk menghindari ancaman bahaya letusan
gunung berapi. Pengganti Empu Sindok adalah Dharmawangsa. Ketika
kepemimpinannya terjadi peristiwa "Pralaya Medang" yaitu penyerbuan
Mataram oleh Wura Wari (bawahan Darmawangsa yang dihasut oleh Sriwijaya).
Pengganti Dharmawangsa sekaligus raja terakhir Mataram adalah Airlangga.
Airlangga adalah menantu Dharmawangsa. Berakhirnya Kerajaan Mataram karena
Airlangga membagi kerajaan menjadi dua untuk menghindari perebutan kekuasaan
antara putra Darmawangsa dan putra Airlangga, Mapanji Garasakan. Mataram dibagi
menjadi dua yaitu Jenggala atau singosari yang beribu kota di kahuripan dan
Panjalu atau Kediri yang beribu kota di Daha.
8. Kerajaan Kadiri
Kerajaan Kadiri berada di tepi Sungai Brantas, Jawa Timur. Raja Sri Jayawarsha
merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang bergelar Sri Jayawarsha
Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu seperti
Airlangga. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah Kameswara. Kameswara
bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana
Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayatunggadewa.
Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja, diceritakan bahwa Raja Kameswara
adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana yang menikah dengan Chandra Kirana.
Pengganti Kameswara adalah Jayabhaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara
Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parkrama Digjayotunggadewa
Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, terjadi perang saudara ini
diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh. Pengganti Jayabhaya yaitu Sarweswara dari Aryyeswara, tidak banyak
diketahui. Raja berikutnya adalah Gandra. Para pejabat diberi gelar tertentu
dengan nama-nama hewan, seperti Gajah atau Kebo. Penggunaan nama-nama tersebut
menjadi tanda pengenal kepangkatan tertentu di Kerajaan Kediri.
Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya,
Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya
berusaha membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di
daerah Tumapel (sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken
Arok. Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri
menuju Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan
tentara Kerajaan Kadiri untuk menyerbu Tumapel. Perang antara pasukan Kertajaya
dan Ken Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan
kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Kerajaan
Kediri. Sumber mengenai Kerajaan Kadiri berasal dari berita Cina, yakni dalam
kitab Ling-wai-tai-ta yang memberitahukan gambaran mengenai pemerintahan dan
masyarakat Kadiri.
9. Kerajaan Singhasari
Pusat Kerajaan Singosari terletak di Malang, Jawa Timur. Ketika Ken Arok
berkuasa di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja
Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke
Tumapel. Namun, dalam pertempuran di Ganter, Raja Kertajaya mengalami kekalahan
dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan Kerajaan Kediri dan Tumapel,
kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok, setelah berhasil membunuh Bupati tumapel
Tunggul Ametung. Ken Arok menjadi raja pertama Singasari dan berhasil
memperistri Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Sebelumnya Ken Arok memiliki
seorang istri bernama Ken Umang. Ken Arok bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabumi.
Pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh Anusapati (anak dari Tunggul Ametung),
diceritakan bahwa Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang
di pakai untuk membunuh Tunggul Ametung. Pemerintahan Anusapati tidak berjalan
lama karena ia dibunuh oleh Tohjaya (anak dari Ken Arok) Tohjaya membunuh
Anusapati juga dengan mengunakan keris Mpu Gandring. Setelah Wafat, jenazah
Anusapati diperabukan di Candi Kidal. Tidak lama kemudian Ranggawuni (anak dari
Anusapati) menuntut kekuasaan dari Tohjaya, tetapi Tohjaya menolak dan
mengirimkan pasukan melawan Ranggawuni. Ranggawuni yang dibantu oleh Mahisa
Cempaka, anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama
melakukan pemberontakan. Pemberontakan yang dilakukan Ranggawuni berhasil
menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya dengan tombak. Dalam pertempuran
tersebut Tohjaya melarikan diri dan akhirnya meninggal di daerah Katang
Lumbung. Ranggawuni naik tahta dengan gelar Sri Jaya Wisnu Wardana pada tahun
1248 M. Mahisa Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh anugrah
kedudukan sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan
Singgasari dengan gelar Narasinghamurti. Setelah meninggal ia digantikan
putranya yaitu Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja (Raja Muda).
Kertanegara mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268. Ketika
Wishnuwardhana meninggal di Mandaragiri, ia dimuliakan di dua tempat yang
berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai Buddha Amoghapasha dan di Candi Weleri
sebagai Siwa. Raja Kertanegara adalah raja yang terkenal dan terbesar dari
kerajaan Singasari. Ia mempunyai semangat Ekspansionis. Kertanegara
bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang
disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan
ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai ekspedisi
Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan
tahun1260. Peristiwa ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco
(Sungai Langsat) yang berangka tahun 1286. Diceritakan bahwa beberapa kali
utusan dari Cina datang ke Kerajaan Melayu yang menuntut mengirm upeti, namun
ditolak oleh Raja Kertanegara.
Pada tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K'i dikirim pulang ke Cina sehingga
Kaisar Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan
Singasari. Keruntuhan kerajaan Singasari adalah karena mendapat serangan
Jayakatwang dari Kediri. Menurut cerita, pada saat serangan musuh datang, Raja
Kertanegara beserta para pejabat dan pendeta sedang melakukan upacara
Tantrayana sehingga dapat dengan mudah mereka semua dibunuh oleh musuh Sumber
sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah kitab-kitab kuno,
seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan Negarakertagama. Kedua kitab itu
berisis sejarah raja-raja. Kerajaan Singasari dan majapahit yang saling
berhubungan erat. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau
Girindrawangsa di Jawa Timur.
10. Kerajaan Majapahit
Raden Wijaya merupakan menantu dari Kertanegara yang selamat dan berhasil lolos
dari serangan Jayakatwang. Beserta pengikutnya yang selamat Raden Wijaya
mencari perlindungan kepada Bupati Madura Arya Wiraraja. Atas saran Arya
Wiraraja Raden Wijaya menhambakan dirinya kepada Jayaktwang di Kasiri, dan ia
dianugerahi tanah di desa Tarikh. Dengan bantuan orang-orang Madura, Raden
Wijaya membangun pemukiman yang pada akhirnya dinamai Majapahit. Kerajaan ini
merupakan Kerajaan bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa.
Nama kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit rasanya.
Sementara itu pada tahun 1292, ekspedisi militer Khubilai Khan tiba di
pelabuhan Tuban, Jawa Timur. Pasukan Khubilai Khan terdiri dari 1.000 buah
kapal dengan 20.000 orang prajurit. Tujuan ekspedisi ini yakni untuk menghukum
Kertanegara yang telah menghina Khubilai Khan. Pada saat itu Khubilai Khan
tidak mengetahui bahwa Kertanegara telah dikalahkan oleh Jayakatwang. Hal ini,
dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Setelah mengalahkan
Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutunya. Raden Wijaya naik tahta
sebagai Raja Majapahit pada tahun 1293 dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawardhana. Pada tahun 1295., berturut-turut pecah pembrontakan yang dipimpin
oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi. Pembrontakan-pembrontakan
itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan mendapat
penghormatan di dua tempat, yaitu Candi Simping (Sumberjati) dan Candi
Artahpura.
Setelah Raden Wijaya meninggal, Kerajan Majapahit diperintah oleh Jayanegara
(1309-1328). Dalam masa pemerintahannya timbul beberapa pemberontakan antara
lain, pemberontakan Nambi, Semi, Ranggalawe, Lembu Sora dan Kuti. Pemberontakan
Kuti adalah yang dianggap paling berbahaya karena berhasil menduduki ibukota
Majapahit dan Jayanegara terpaksa mengungsi ke daerah Badander. Akhirnya
pemberontakan Kuti berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada, dan berkat jasanya ia
di angkat menjadi patih Kahuripan. Raja Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh
oleh salah seorang anggota dharmaputra yang bernama Tanca. Pengganti Jayanegara
adalah Tribuwanatunggadewi (1328-1350). Ketika pemerintahannya timbul
pemberontakan Sadeng pada tahun 1331, pemberontakan ini juga berhasil ditumpas
oleh Gajah Mada sehingga ia di angkat menjadi Mahapatih Majapahit. Pada waktu
pelantikan ia mengucapkan sumpah yang dikenal dengan "Sumpah Palapa".
Isi sumpahnya adalah tidak akan merasakan palapa (istirahat) sebelum menyatukan
nusantara di bawah Majapahit.
Setelah Tribuwanatunggadewi meninggal ia digantikan putranya yaitu Hayam Wuruk.
Pada tahun 1350, Hayam Muruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri
Rajasanagara. Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Majapahit
mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di dampingi
mahapatih Gajah Mada. Gajah Mada meninggal tahun 1364. Meninggalnya Gajah Mada
menjadi titik tolak kemunduran Majapahit. Setelah Gajah Mada tidak ada
negarawan yang kuat dan bijaksana. Keadaan semakin memburuk setelah Hayam Wuruk
juga meninggal pada tahun 1389. Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota. Tahta
kerajaan Majapahit diberikan pada menantunya yang bernama Wikramawardhana
(suami dari putri mahkota Kusumawardhani).
Keruntuhan Majapahit antara lain akibat tidak ada tokoh yang cakap dan
berwibawa sesudah wafatnya Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Terjadi Perang paregrek
pada tahun 1401 (perang saudara) antara Bhre Wirabumi dan Wikramawardhana.
Perang Paregreg baru berakhir pada tahun 1406 dengan terbunuhnya Bhre Wirabhumi.
Parang saudara ini semakin melemahkan Kerajaan Majapahit. Banyak negeri bawahan
Majapahit yang berusaha melepaskan diri, dan Berkembangnya agama Islam di
pesisir Pantai Utara Jawa. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1500-an yang
didasarkan pada tahun bersimbol Sima Bang Kertaning Bhumi.
Perkembangan Kerajaan-Kerajaan bercorak Islam Awal
1. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan pertama yang bercorak Islam. Kerajaan
ini terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kuang lebih di seitar Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara. Raja pertama Samudra Pasai adalah Marah Silu yang
bergelar Sultan Malik al- Shaleh. Pada tahun 1297 Sultan Malik al- Shaleh
digantikan oleh putranya Sultan Muhammad yang memerintah sampai tahun 1326 M.
Sultan ini lebih dikenal dengan nama Malik al- Tahir. Penggantinya adalah
Sultan Ahmad (1326-1345), yang juga memakai nama Malik al- Tahir. Pada masa
pemerintahannya Pasai mendapat kunjungan dari seorang utusan Sultan Delhi
bernama Ibnu Battuta. Sumber mengenai Kerajaan ini terdapat dalam kitab Rihlah
ila I-Masyriq (pengembaraan ke Timur) karya Ibnu Battuta (1304-1368), diketahui
bahwa Pasai merupakan sebuah pelabuhan yang sangat penting.
2. Kerajaan Malaka
Pada abad ke- 15, muncul kerajaan Islam dan pusat perdagangan yang baru,
yaitu Malaka. Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara yang merupakan pangeran
Palembang yang melarikan diri dari serangan Majapahit dan menetap di Malaka.
Letak Malaka yang strategis diajadikan sebagai kota pelabuhan. Dengan bantuan para
perompak menjadikan Kerajaan Malaka sebagai Pelabuhan Internasional pada abad
ke- 15 dna 16. Kejayaan Kerajaan Malaka disebabkan oleh beberapa faktor penting
yaitu, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik
dengan negara Cina. Adanya pernikahan sultan Malaka dengan putri dari negara
Cina. Malaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan pemegan kekuasaan
terbesar di dunia pada masa itu. Pada tahun 1414 sebelum meninggal Parameswara
masuk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Syah. Ia digantikan
oleh anaknya Muhammad Iskandar Syah. Sultan ini memerintah selama 10 tahun
(1414-1424) dan digantikan oleh Muhammad Syah. Pengganti Muhammad Syah adalah
Seri Parameswara Dewa, dari namanya dapat dipastikan bahwa tidak menganut Agama
Islam.
Masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dikarenakan dia meninggal karena dibunuh.
Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Malaka melakukan ekspansinya di
Semaenanjung Malaya dan Pantai Timur Sumatera. Sehingga, pada tahun 1455 dan
1456 mendapat serangan dari Siam namun dapat dipatahkan. Dibawah pemerintahan
Sultan Mansur Syah 1459, Malaka menyerbu Kedah dan Pahang dan menjadikannya
negara vassal. Dibawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk.
Kejayaan Malaka tetap memuncak dalam masa pemerintahan Sultan Alaudin Syah
(1477-1488), akan tetapi pada masa pemeritahan Sultan Mahmud Syah pada tahun
1511 Malaka diserang Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Aluquerqeu. Serangan
inilah akhir dari masa Kerajaan Malaka.
3. Kerajaan Demak
Pada abad ke- 15 Kerjaan Majapahit mengalami kemunduran, yang mengakibatkan
negara bawahannya memisahkan diri. Kerajaan Demak merupakan Kerajaan Islam di
Jawa, yang didirikan oleh Raden Patah. Kerajaan Demak ini berdiri dengan adanya
dukungan dari kota-kota pelabuhan islam seperti Tuban dan Gresik. Jatuhnya
Malaka ke tangan portugis, secara tidak langsung mendorong kemajuan Demak
menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam di Jawa. Sehingga Islam
tersebar hingga ke Cirebon dan Banten. Pada tahun 1518 Raden Patah wafat, dan
digantikan oleh putranya Pati Unus. Pati Unus memimpin hanya selama 3 tahun,
dan kemudian digantikan oleh Sultan Trenggono yang memerintah hingga tahun
1546. Pada tahun 1513 Demak berusaha mengusir orang Portugis dari Malaka, namun
mengalami kegagalan. Permusuhan antara Demak dan Portugis kemudian beraih
menjadi perebutan pengaruh di Pulau Jawa. Dalam upayanya untuk menangkal
pengaruh Portugis, Sultan Trenggono mendapat bantuan dari seorang ulama Pasai
bernama Fatahillah yang menjadi iparnya.
Pada tahun 1527, Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mendirikan benteng
sesuai dengan perjanjian dengan Pajajaran. Namun, mereka menemukan bahwa Sunda
Kelapa sudah menjadi Jayakarta yang mengakui kedaulatan Fatahillah di Banten.
Pada tahun 1546 Sultan Trenggono terbunuh di Pasuruan, terjadi perebutan
kekuasaan antara adik Trenggono yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen dan anak
Trenggono yang bernama Pangeran Prawata. Pada akhirnya Pangeran Prawata dibunuh
oleh Arya Panangsang yang menuntut balas kematian ayahnya Pangeran Sekar Seda
Lepen. Tahta Kerajaan Demak jatuh ke tangan adipati Pajang yang merupakan
menantu Sultan Trenggono, Hadiwijaya (terkenal dengan nama Jaka Tingkir).
Setelah berhasil mengalahkan Arya Panangsang, pada tahun 1568 Hadiwijaya
memindahkan keraton Demak ke Pajang. Dengan ini, berakhirlah Kerajaan Demak dan
digantikan dengan berdirinya Kerajaan pajang.
4. Kerajaan Pajang
Setelah wafatnya Sultan Trenggana, kekuasaan Demak bergeser ke Pajang
dengan rajanya Jaka Tingkir (1546-1586). Jaka Tinggir bergelar Sultan
Hadiwijaya. Kerajaan pajang terletak di daerah Kartasura (dekat Surakarta atau
Solo), Jawa tengah. Kerajaan ini merupakan kerajaan islam pertama yang terletak
di daerah pedalaman. Sebelumnya, kerajaan islam selalu berada di daerah
pesisir, karena islam datang melalui para pedagang dari asia barat yang
berlabuh di pesisir. Setelah terbunuhnya Pangeran Prawata, Arya Panangsang
menguasai kerajaan Demak. Untuk menegakkan kekuasaan pajang, Sultan Hadiwijaya
harus berhadapan dengan Arya Panangsang.
Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, Sultan Hadiwijaya mendapat bantuan dari tiga
orang yakni Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani. Arya Penangsang
terkenal sakti, karena merupakan murid utama sunan Kudus, senapati perang
kerajaan demak. Untuk menghadapi kesaktian penangsang, ketiga orang itu membuat
strategi. Pada akhirnya Arya Panangsang dapat dikalahkan oleh Danang
Sutawijaya. Untuk menepati janjinya Sultan Hadiwijaya memberikan hadiah tanah pati
kepada Ki Penjawi dan tanah Mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Sultan
Hadiwijaya memperluas kekuasaannya di jawa pedalaman ke arah timur sampai
daerah madiun, di aliran anak bengawan Solo yang terbesar. Pada tahun 1554,
Blora, dekat Jipang, dapat diduduki pula. Pada tahun 1577 berhasil menduduki
Kediri. Pada tahun 1581, sesudah usia sultan Hadiwijaya melampaui setengah
baya, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan islam dari raja-raja
terpenting di jawa timur. Namun, Pajang tidak dapat menguasai wilayah lautan
dan Madura.
Sultan Hadiwijaya wafat pada tahun 1987, Ia digantikan oleh menantunya, Arya
Pangiri, anak Sunan Prawoto. Sebelum diangkat ke tahta pajang, Arya Pangiri
adalah penguasa demak. Sementara itu, anak sultan Hadiwijaya, pangeran Benawa,
disingkirkan oleh Arya Pangiri, dan dijadikan Adipati Jipang. Pangeran Benawa
naik tahta setelah berhasil menggulingkan Arya Pangiri dengan bantuan Danang
Sutawijaya. Pada akhirnya, Pangeran Benawa mengundurkan diri dari tahta dan
memilih menjadi pengabdi agama. Tahta Kerajaan Pajang di serahkan kepada
Sutawijaya, dan dipindahkan ke Mataram dan Sutawijaya menjadi raja bergelar
Panembahan Senopati (1575-1601).
5. Kerajaan Mataram Islam
Tanah hadiah dari Sultan Hadiwijaya, dalam waktu singkat tanah tersebut berubah
menjadi sebuah daerah yang bernama Mataram. Namun, pada tahun 1575 Ki Ageng
Pemanahan meninggal akibat sakit. Kemudian Mataram dipimpin oleh Sutawijaya.
Pada tahun 1582, setelah membantu Pangeran Benawa untuk menggulingkan Arya
Panggiri, Sutawijaya memindahkan kekuasaan Pajang ke Mataram. Hal ini,
dikarenakan Pangeran Benawa memilih menjadi pengabdi agama dan menyerahkan
tahtanya kepada Sutawijaya. Sebelumnya, ketika Kerajaan Pajang dipimpin oleh
Sultan Hadiwijaya hubungan antara Pajang dan Mataram tidak baik. Mataram masih
merupakan daerah bawahan dari Kerajaan Pajang, namun dibawah kepemimpinan
Sutawijaya yang menginginkan membebaskan Mataram dari Pajang menyebabkan
terjadinya peperangan.
Dalam peperangan antara Sultan Hadiwijaya dan Sutawijaya, Pajang mengalami
kekalahan. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi
raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga. Dibawah kepemimpinan
Sutawijaya, Kerajaan Mataram melakukan perluasan wilayah dengan melancarkan
serangan ke daerah-daerah di sekitarnya. Pada tahun 1590, Panembahan Senopati
atau biasa disebut dengan senopati menguasai madiun, yang waktu itu bersekutu
dengan surabaya. Pada tahun 1591 ia mengalahkan kediri dan jipang, lalu
melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan dan Tuban pada tahun 1598-1599.
Tujuan dari perluasan wilayah yang dilakukan oleh Panembahan Senopati ialah
keinginannya untuk menjadikan Mataram sebagai pusat budaya dan Agama Islam,
untuk menggantikan Kesultanan Demak.
Dalam pemerintahannya Panembahan Senopati menggunakan sistem Dewa-Raja, dimana
pusat kekuasaan terdapat pada Sultan. Panembahan Senopati meninggal pada tahun
1601, dan digantikan putranya Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak (1601
– 1613). Sepeninggal Mas Jolang, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645).
Pada masa pemerintahan Mas Rangsang Mataram mencapai kejayaan. Baik dalam
bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan. Mas Rangsang
bergelar Agung Hanyakrakusuma, pada masa kekuasaannya pusat pemerintahannya
berada di Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur
sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar
“Panembahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”. Pada tahun 1641, Agung
Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil
gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga
Ngabdurrahman.
Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan
Mataram pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan
penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa.
Pada tahun 1628, Mataram menyerang VOC di Batavia dibawah Tumengggung Baureksa
dan Tumenggung Sura Agul-agul. Namun, serangan ini gagal dan mengakibatkan
Tumenggung Baureksa gugur. Pada tahun 1629, Mataram melancarkan serangan ke
benteng Hollandia, Bommel, dan weesp. Dalam penyerangan ini pasukan Mataram
dibawah pimpinan Ki Ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, Ki Ageng Puger. Akan tetapi
serangan ini juga dapat dipatahkan lagi oleh VOC. Bagi sultan Agung, kerajaan
mataram adalah kerajaan islam yang mengemban amanat Tuhan di tanah jawa. Oleh
sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan
kerajaan.
Sultan Agung meninggal pada tahun 1664, kemudian Mataram
diperintah oleh Sunan Tegalwangi dengan gelar Amangkurat I ( 1646 – 1677). Di
bawah pemerintahannya, kerajaan mulai mengalami kemunduran dengan adanya
pemberontakan yang dilakukan Trunajaya dari Madura dan wilayah yang semakin
menyempit akibat direbut oleh VOC. Sepeninggal Amangkurrat I, Mataram
diperintah oleh Amangkurat II yang menurunkan Dinasti Paku Buwana di Solo dan
Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk memadamkan
pemberontakan Trunajaya. Setelah Perang Giyanti 1755, wilayah mataram dibagi
menjadi dua yaitu Mataram Surakarta dan Mataram Yogyakarta. Pada tahun 1757 dan
1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman.
6. Kerajaan Banten
Kerajaan Banten terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian
dari Kerajaan Demak. Dibawah pimpinan Fatahillah Banten dapat dikuasai oleh
pasukan Demak. Fatahillah merupakan menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif
Hidayatullah merupakan salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan
Demak untuk memerintah di Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra
laki-laki, pangeran Pasarean dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan
berkuasa di Cirebon. Pada tahun 1522, Pangeran Saba Kingkin yang kemudian lebih
dikenal dengan nama Hasanuddin diangkat menjadi Raja Banten. Kerajaan Banten
berdiri pada tahun (1522- 1570), dengan rajanya Sultan Hasanudin.
Kerajaan ini berdiri setelah melepaskan diri dari Kerajaan Demak yang mengalami
kemunduran. Di bawah masa pemerintahanya, pengaruh Banten sampai ke Lampung.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, menjadikan Banten sebagai
pusat perdagangan selain karena letaknya yang sangat sangat stratetgis.
Keberadaan Portugis di Malaka menyebabkan para pedagang muslim berpindah jalur
pelayarannya melalui Selat Sunda.
Sepeninggal Sultan Hasanudin, Kerajaan Banten kemudian dipimpin oleh putranya
Pangeran Yusuf (1570-1580). Di bawah pemerintahan Pangeran Yusuf Banten
berhasil merebut wilayah Pajajaran dan Pakuan. Pangeran Yusuf kemudian
digantikan oleh Maulana Muhammad. Maulana Muhammad diangkat menjadi raja pad
usia sembilan tahun dengan gelar Kanjeng Ratu Banten. Disebabkan usianya yang
masih dini, dalam pemerintahannya dibantu oleh Mangkubumi hingga dia dewasa.
Pada tahun 1595, Maulana Muhammad gugur dalam ekspedisi Palembang. Tahta
digantikan oleh putranya Abu’lmufakhir yang baru berusia lima bulan. Dalam
menjalankan roda pemerintahan, Abu’lmufakhir dibantu oleh Jayanegara. Pada tahun
1651-1692 Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah kemudian digantikan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa.
Dibawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa banten mengalami kemajuan pesat.
Pada tahun 1671 putranya Sultan haji yang menjadi raja pembantu berhubungan
dengan Belanda yang menyebabkan Banten terpecah. Dari beberapa data mengenai
Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di
pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai
Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal
dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan
berdasarkan posisi geografisnya.
7. Kerajaan Gowa dan Tallo
Kerajaan Gowa dan Tallo membetnuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga
melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar.
Posisis kedua kerajaan ini sangat penting, karena leteknya strategis untuk
perdagangan. Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin dibantu oleh Daeng Manrabia
(Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah, pada abad ke- 17 Kerajaan Gowa mengalami
perkembangan pesat di bidang agama. Sultan Alaudin merupakan Raja Makassar yang
pertama memeluk agama yang memerintah dari tahun 1591-1638 M. Di bawah
pemerintahan Sultan Alaudin, Kerajaan Makassar mulai terjun dalam dunia
pelayaran-perdagangan (dunia maritim). Pada masa ini, rakyat Makasar mengalami
peningkatan kesejahteraan.
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa
pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Di masa pemerintahan Sultan
Hasannudin Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan
menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang
keperluan perdagangan Makasar. Sultan Hasanudin merupakan raja yang menentang kehadiran
dan monopoli yang dilakukan oleh VOC. Pertentangan antara VOC dan Sultan
Hasanuddin sering menimbulkan peperangan. Atas keberanian Sultan Hasanuddin
dalam melawan Belanda, ia mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur.
Untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar, Belanda menggunakan taktik ada
domba antara Makasar dengan Kerajaan Bone (raja pada saat itu adalah Aru
Palaka). Raja Bone erasa dijajah oleh Makasar yang setuju dengan Belanda untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk
mengahancurkan Makasar. Akibat adanya persekutuan itu, mengharuskan Kerajaan
Makasar menagakui kekalahannya dengan menandatangani perjanjian Bongaya tahun
1667.
Isinya sebagai berikut:
a. VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda
dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar
harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar
Makasar.
d. Aru
Palaka diakui sebagai raja Bone.
Pada masa pemerintahan Mapasomba (putra Hasannudin), Kerajaan Makasar tetap
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Untuk mengahadapi perlawanan ini Belanda
mengerahkan pasukannya yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Makasar.
8. Kerajaan Ternate dan Tidore
Raja Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum (1465-1495 M) dan Penggantinya
adalah Sultan Zainal Abidin (1486-1500). Kerajaan Tidore yang dipimpin oleh
Sultan Mansur. Kerajaan ini termasuk dari empat kerajaan islam yang terdapat di
Maluku. Kerajaan Ternate merupakan salah satu kerajaan islam tertua di
Indonesia. Pada masa itu Agama Islam di Maluku menyebar luas ke Banda, Hitu,
Haruku, Makyan, dan Halmahera.
Kerajaan Ternate dan Tidore berada di sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara).
Kedua kerajaan ini memiliki peran yang menonjol dalam menghadapi
kekuatan-kekuatan asing yang mencoba menguasai Maluku. Namu, dalam
perkembangannya kedua kerajaan ini bersaing merebutkan hegemoni politik di
kawasan Maluku. Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan daerah penghasil
rempah-rempah, seperti pala dan cengkeh, sehingga daerah ini menjadi pusat
perdagangan rempah-rempah. Dalam persaingan ini Kerajaan Tidore bersekutu
dengan Spanyol dalam menghadapi Kerajaan Ternate yang bersekutu dengan
Portugis.
Dari persaingan tersebut menimbulkan dua persekutuan dagang, yaitu:
- Uli-Lima (persekutuan lima bersaudara) dipimpin oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, dan Ambon. Pada masa Sultan Baabulah, Kerajaan Ternate mencapai aman keemasan dan disebutkan daerah kekuasaannya meluas ke Filipina.
- Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) dipimpin oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo sampai ke Papua. Kerajaan Tidore mencapai aman keemasan di bawah pemerintahan Sultan Nuku.
Setelah mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang oleh Sultan
Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultab
Baabullah Kerajaan Ternate mengalami kejayaan. Raja Tidore mencapai puncak
kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Kemunduran Kerajaan
Ternate dan Tidore disebabkan karena adanya diadu domba diantara kedua kerajaan
ini yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan
untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
M.
Hariwijaya, S. S., M.S.i. 2008. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Yogyakarta: Insan Madani Munoz, Paul Michel. 2006. Kerajaan-Kerajaan Awal
Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Yogyakarta: Mitra Abadi
Poesponegaro,
Marwati
Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia jilid II
dan III. Jakarta: Balai Pustaka
Purwadi.
2010. The history of Javanese Kings. Yogyakarta: Ragam Mulia.
Slamet
Muljana. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Jawa dan
Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta:LKis, Cetakan ke-4
Soekmono.
1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia jilid II dan III. Jakarta: Kanisius
sippp
BalasHapus